|

IKLAN BANNER

IKLAN BANNER
Jejak Cakap Digital & Jejak Kreasi

Ancaman Industri Daur Ulang dan Ekonomi Lokal di Bali


(SE) Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 9 tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah yang melarang produksi dan distribusi air minum dalam kemasan (AMDK) di bawah satu liter memantik kekesalan para pedagang kecil. Denpasar, 30/06/2025. Mang Arik berpendapat bahwa pemerintah jangan hanya mebuat kebijakan tanpa dibarengi dengan solusi yang nyata di lapangan, apalagi kalau ada upacara adat di Bali. ©Sonny/Tajuknews.comtjk/06/2026.


TAJUKNEWS.COM/ Denpasar. – Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 9 tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah yang melarang produksi dan distribusi air minum dalam kemasan (AMDK) di bawah satu liter memantik kekesalan para pedagang kecil. Dengan ketus, mereka mencibir kebijakan yang memberatkan pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).


"Apa sekalian pabriknya ditutup? Bisa dibayangkan kalau pedagang di alun-alun (Lapangan Puputan), membawa yang ukurannya 1 liter, pasti sulit kan. Berat mereka," kata salah satu pedagang di Bali, Mang Arik.


Dia juga mempertanyakan nasib pembeli yang hanya memiliki cukup uang untuk belanja air dalam kemasan ukuran di bawah 1 liter. Mang Arik berpendapat bahwa pemerintah jangan hanya mebuat kebijakan tanpa dibarengi dengan solusi yang nyata di lapangan, apalagi kalau ada upacara adat di Bali. 


Warga Bali, Gede Suanda mengatakan bahwa pelarangan produksi dan distribusi itu akan memberatkan masyrakat setiap ada acara adat. Pria yang sudah terbiasa mengikuti setiap upacara adat di Bali ini melanjutkan, penggunaan gelas kaca atau air kemasan di atas liter akan sangat membebani masyarakat kurang mampu menuyusul besaran biaya yang harus dikeluarkan setiap kegiatan adat.


"Jika ada ratusan orang yang datang ke upacara tersebut, jika menggunakan gelas kaca bisa dibayangkan berapa besar biaya yang harus dikeluarkan tuan rumah. Iya kalau misalkan orangnya mampu, kalau tidak bagaimana? Kasihan jadinya tuan rumahnya," katanya.


Hal serupa juga diutarakan salah seorang Banjar di Denpasar, Ketut Ariano. Dia mengaku heran dengan keluarnya SE Gubernur Koster yang melarang masyarakat Bali untuk menggunakan air minum kemasan di bawah satu liter pada upacara adat. Selain mahal, menurutnya, AMDK di atas 1 liter juga tidak cocok dijasikan kepada tamu dalam acara apapun.


"Nggak cocok jika dihidangkan kepada para tamu yang datang, ukurannya terlalu besar dan mubazir jika digunakan untuk upacara-upacara adat," katanya.


Pelarangan produksi dan distribusi dalam SE Guburnur Wayan Koster dinilai akan memberikan efek domino terhadap perekonomian Bali, termasuk mematikan industri daur ulang. Mereka berpendapat bahwa Gubernur Koster tidak sensitif dengan perekonomian masyarakat saat mengeluarkan kebijakan tertentu.


Asosiasi Industri Minuman Ringan (ASRIM) mengungkapkan bahwa sebenarnya industri minuman ringan telah menjalankan berbagai upaya konkret dalam pengelolaan sampah kemasan plastik. Larangan tersebut dapat berpotensi membuat merosotnya keuntungan industri tersebut hingga sekitar 5 persen. 


"Saya belum tahu (pasti) data angka persentasenya, cuma ya mungkin feeling saya bisa (turun) 5 persen," kata Ketua ASRIM, Triyono Prijosoesilo.


Dia mengatakan, pada dasarnya ASRIM mendukung tujuan dari kebijakan Bali bersih untuk mengelola sampah kemasan dan nonkemasan agar tidak mencemari lingkungan. Sebabnya, industri minuman ringan telah menjalankan berbagai upaya konkret dalam pengelolaan sampah kemasan plastik.


Dia mengungkapkan bahwa pelarnagan saja tidak cukup untuk mengatasi permasalah sampah di Bali. Dia melanjutkan, sudah banyak aktivitas yang dilakukan industri baik yang bekerja sendiri atau bersama LSM dan pelaku usaha daur ulang dalam melakukan pengumpulan sampah kemasan, termasuk di Bali.


"Itu sudah terbukti bisa mengumpulkan sampah, terutama yang high value. Ada teknologi yang bisa olah itu jadi bahan bakar, itu bisa kita dorong. Sampah organik itu bisa diolah jadi kompos," katanya.


Pengamat kebijakan publik Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar, I Nyoman Subanda menilai bahwa kebijakan pelarangan produksi dan distribusi air kemasan di bawah satu liter perlu dikaji lebih mendalam sebelum diberlakukan secara luas. Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (SPN KLHK) mencatat bahwa 68,32 persen sampah di Bali merupakan limbah organik (sisa makanan dan ranting kayu).


"Makanya perlu dilihat dulu, apakah benar kemasan air minum kecil itu penyumbang sampah paling besar? Atau malah ada jenis sampah plastik lain yang lebih dominan seperti kantong kresek atau sachet,” kata Subanda.


Menurutnya, larangan menjadi beban bagi masyarakat adat Bali yang sering menggunakan air kemasan kecil dalam kegiatan keagamaan dan adat. Dia mengatakan, pelarangan ini akan menyulitkan masyarakat saat ingin mengadakan kegiatan adat.


"Air kemasan kecil itu sangat dibutuhkan saat kegiatan adat yang melibatkan banyak warga. Artinya, kebijakan belum linier dengan kebutuhan masyarakat desa," tegasnya.


Ketua Fraksi Gerindra DPRD Bali, I Gede Harja Astawa mengungkapkan kalau mengatasi sampah di Bali tidak perlu dengan melakukan pelarangan produksi dan distribusi yang justru merugikan perekonomian masyarakat secara langsung. Dia melanjutkan, sampah plastik yang ada di Bali tidak hanya disebabkan oleh tumpukan limbah air kemasan semata.


Gede Harja mengatakan, keberadaan air kemasan di bawah 1 liter sebenarnya memudahkan publik terlebih saat mengadakan kegiatan adat atau yang melibatkan masyarakat banyak. Dia meneruskan, menghilangkan air kemasan di bawah 1 liter hanya akan menambah beban masyarakat apalagi ketika melaksanakan acara adat.


Ketua DPD Pemuda Hindu Kabupaten Buleleng ini berpendapat bahwa pengelolaan sampah berbasis daur ulang seharusnya lebih dikedepankan dibanding pelarangan produksi dan distribusi air kemasan. Dia melanjutkan, masyarakat luas juga bisa mendapat keuntungan ganda secara ekonomi dan ekologi.


Dia menjelaskan bahwa penghentian produksi dan distribusi tersebut akan mematikan hajat hidup orang banyak sehingga dapat menimbulkan masalah sosial baru. Dia pun meminta Gubernur Koster untuk mengevaluasi keberadaan SE nomor 9 tahun 2025 tersebut.


"Sebaiknya direvisi dan disempurnakan. Klausul pelarangan dan distribusi itu dihapus dan diberikan dengan tambahan solusi-solusi pengelolaan sampah," katanya.

Komentar

Berita Terkini