TAJUKNEWS.COM/ Jakarta. - Gerakan Reformasi Advokasi Masyarakat (GRAM), yang terdiri dari berbagai organisasi masyarakat sipil, resmi mengajukan permohonan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Agung terhadap Peraturan Polisi (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Gerakan Reformasi Advokasi Masyarakat (GRAM) adalah koalisi dari berbagai organisasi masyarakat sipil, termasuk Jabez Rehabilitasi, Yayasan Agape, Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI), Yayasan Mutiara Maharani (YMM), Forum Akar Rumput Indonesia (FARI), Yayasan Balarenik, BPPN Pemuda Pancasila, Yayasan Anugerah Insan Residivis (YAIR), Yayasan Lingkaran Indonesia Peduli (YLIP) dan sejumlah lembaga lainnya yang fokus pada isu hak asasi manusia, kesehatan, dan reformasi kebijakan narkotika di Indonesia, di Jakarta, 10/10/2025.
Langkah ini diambil setelah ditemukannya berbagai pelanggaran hak asasi manusia, praktik pemerasan, penangkapan sewenang-wenang, serta komersialisasi rehabilitasi yang terjadi dalam implementasi Perpol 8/2021. Alih-alih memberikan perlindungan hukum dan pemulihan kesehatan bagi pengguna narkotika, kebijakan ini justru membuka ruang kriminalisasi warga tak berdaya dan memperparah ketidakadilan sosial.
Tuntutan GRAM
Mahkamah Agung membatalkan Peraturan Polisi Nomor 8 tahun 2021 pada pasal – pasal yang mengatur Keadilan Restoratif pada kasus narkotika karena bertentangan dengan Undang-Undang Narkotika, asas due process of law, dan prinsip hak asasi manusia.
Mendorong kebijakan narkotika berbasis kesehatan dan bukti ilmiah, bukan kriminalisasi.
Menghentikan target penangkapan pengguna narkotika yang justru memperparah over kapasitas didalam penjara dan membuka ruang korupsi sistemik.
Daniar Ridijati S.H kuasa hukum komunitas mengatakan," Berangkat dari keperihatinan kami di komunitas di mana seolah- olah melegitimasi praktek- praktek transaksional dari penyidik ke rehab- rehab yang memang bekerja sama dengan penyidik yang mana akhirnya proses- proses yang seharusnya di tempuh menjadi tidak di tempuh sama sekali".
"Intinya proses-prosesnya tidak dilakukan, dan menurut kami itu melanggar asas kepastian hukum termasuk salah satunya adalah status teman- teman yang menjadi tersangka kemudian di kirim ke tempat rehabilitasi kemudian bagaimana statusnya" apakah memang di nyatakan bebas, lepas atau jika tidak ada kepastian tiba- tiba dilakukan penangkapan kembali,"ujarnya.
"Untuk rehabilitas sendiri selama ini, dari data- data yang kami terima dari teman- teman tidak dilakukan secara ideal.Prosedurnya melenceng dari yang seharusnya di lakukan oleh teman- teman di rehabilitasi ini dalam melakukan perlindungan hukum," katanya.
"Mahkamah Agung pada awalnya mencoba memberikan kemudahan, memang saat ini dilakukan secara online, tapi memang ada tahapan yang saya rasa tidak di sampaikan juga, sehingga ketika kami melihat tahapan itu terhenti dan tidak mendapat informasi lanjutan maka kami melakukan pengantar berkas secara langsung," paparnya.
"Dan tadi di sampaikan juga di dalam oleh perwakilan dari kamar tata usaha negara di Mahkamah Agung bahwa memang ternyata sistemnya belum sempurna dan masih dalam tahap uji coba," terangnya.
Tapi memang sejauh ini saya kira jika memang sudah berjalan dengan baik kedepannya akan membantu para pencari keadilan khususnya yang melakukan pengujian terhadap peraturan yang berada di bawah Undang- undang.
"Harapan kedepan kalo berbicara dengan peraturan, hakikatnya di buat untuk melindungi masyarakat, tapi ketika secara implementasi malah menjadi bumerang untuk masyarakat, dan menjadi alat- alat yang menjadi legitimasi menindas masyarakat atau komunitas tertentu, kami tidak menginginkan hal tersebut," tuturnya.
Intinya jangan sampai terjadi terjadi seperti hal tersebut jika berbicara terkait regurasi atau peraturan.
"Pada prinsipnya kami memperjuangkan keadilan, karena sistem yang ada di negara kita seperti ini, kita coba mengikuti apakah ini bisa menjadi pembelajaran untuk kawan- kawan lain yang memiliki keresahan terhadap peraturan yang sama atau peraturan lain yang lain yang memiliki celah penyalahgunaannya banyak," ungkapnya.
M. Taufan, SH. MH juga salah satu kuasa hukum komunitas mengatakan," Reaksional kita tergerak dari penerapan bahwa sebenarnya tujuan yang sangat baik dalam Restorative Justive yang di usung oleh Polri, tapi banyak terjadi penyimpangan- penyimpangan dalam implementasi penerapannya yaitu yang sangat di rasakan oleh kawan- kawan kuasa hukum atau korban mengadu kepihak kita cenderung kepada hal- hal yang kita rasa tidak cukup secara administratif".
"Pada pelaksanaannya cenderung tidak terlaksana secara maksimal atau sesuai tujuan awal, yaitu rehabilitasi terhadap penyalahguna atau korban yang di tangani oleh pihak- pihak rekan- rekan kepolisian," ujarnya.
"Mudah- mudahan dalam usaha ini atau keprihatinan kita dapat di pertimbangan kembali apakah pembentukan peraturan No 8 tahun 2021 mengindahkan segala hal yang pasti bersesuaian dengan pertimbangan- pertimbangan dari segi penerapan hukum yang tidak tumpang tindih," pungkasnya.
©RAN/Tajuknews.com/tjk/10/2025.