|

IKLAN BANNER

IKLAN BANNER
PEMILU 2024

Kisah Sukses Muhammad Catur Gunandi Sebagai Trader dan Pebisnis

 

Pebisnis muda Muhamad Catur Gunandi yang merasakan pernah berada di bibir jurang, dan hanya punya dua pilihan. Pilihan pertama mudah, tetapi berisiko tidak bisa hidup tenang selamanya. Pilihan kedua sangat berat, tetapi setelah itu hati akan tenteram, " Ujarnya di Jakarta, 16/09/2022. insinyur teknik dirgantara dari Institut Teknologi Bandung. Sebagai lulusan ITB, saya mudah mendapat pekerjaan yang bagus. Namun, tidak puas sampai di situ, saya selalu ingin berbisnis. @Sonny/Tajuknews.com/tjk/09/2022.


TAJUKNEWS.COM, Jakarta. - Menjadi orang sukses itu banyak pilihan yang dilalui beragam cerita perjalanan dalam melakukan usaha mandiri untuk menuju di atas puncak kesuksesan. Semua itu bukan secara instan sekejap butuh usaha yang gigih dalam bekerja keras tentunya.


"Ini yang dilakukan Muhammad Catur Gunandi, "yang merasa pernah berada di bibir jurang, dan hanya punya dua pilihan. Pilihan pertama mudah, tetapi berisiko tidak bisa hidup tenang selamanya. Pilihan kedua sangat berat, tetapi setelah itu hati akan tenteram, " Ujarnya di Jakarta, 16/09/2022.

Saya sangat kalut. Saat itu rasanya saya tidak punya pegangan. Sisi baik dan sisi buruk saya berperang. Kepala saya sampai pusing tujuh keliling. Saya menjadi plin-plan. Kadang saya ingin mengambil pilihan pertama. Terkadang ingin mengambil pilihan kedua. Kadang saya ingin mengambil pilihan pertama lagi. Lalu diyakinkan lebih baik pilihan kedua. Begitu terus.


Semua gara-gara utang yang melilit saya. Partner bisnis di bidang konstruksi kabur dengan menggelapkan dana miliaran rupiah. Ia pergi dengan menyisakan utang Rp 2,5 miliar, yang harus saya tanggung. Jumlah yang sangat besar. Dari mana duitnya? Meski punya gaji bulanan, sampai berapa lama saya mampu mencicilnya?

Dua pilihan terpampang di depan. Pilihan pertama, gampang dilakukan, yaitu kabur dan mengganti nomor telepon seluler. Pilihan kedua, jaga nama baik, hadapi, dan selesaikan persoalan utang, yang tentu saja berat. Pilihan pertama memang sangat menggoda dalam kondisi seperti itu. Tetapi, masak iya saya pilih menjadi pecundang seperti itu? Apa kata dunia? Sayang kalau nama baik saya, Muhamad Catur Gunandi, jadi rusak, " Katanya.

Akhirnya saya memutuskan memilih pilihan kedua. Pilihan yang sangat berat itu. Semua yang akan terjadi kemudian, biarlah menjadi risiko bisnis yang harus saya tanggung. Yang akan terjadi nanti, biarlah terjadi. Namun, saya sungguh tidak pernah mengira, ternyata ada berkah tersembunyi di balik semua kesulitan ini.

 

Bermula dari Bisnis Fotokopi

Saya insinyur teknik dirgantara dari Institut Teknologi Bandung. Sebagai lulusan ITB, saya mudah mendapat pekerjaan yang bagus. Namun, tidak puas sampai di situ, saya selalu ingin berbisnis.

Saya memang telanjur mencintai dunia bisnis, terutama dagang. Bahkan kala usia saya belum genap 10 tahun. Masih duduk di bangku sekolah dasar. Penghapus pensil yang mungil bisa berubah menjadi duit di tangan saya. Beli Rp 25, penghapus dengan aroma wangi yang khas itu saya jual Rp 75.

Untungnya lumayan, bukan? Saat itu pemicunya sederhana saja, saya butuh uang jajan.

Uang jajan saya waktu sekolah boleh dibilang tak seberapa. Gaji Ayah sebagai karyawan swasta di sebuah pabrik susu tak berlebih. Meski kami memang tak kekurangan dalam hal materi, Ibu yang mengabdikan diri sepenuhnya di rumah harus pandai-pandai mengatur keuangan keluarga.

Rumah kami di Cimahi, bertetangga dengan Kota Bandung. Saat masuk SMA di Bandung pada 1999, jalur angkutan kota merupakan santapan saya sehari-hari. Ibu memberi saya bekal Rp 3.000, jumlah itu harus cukup untuk naik angkot pergi-pulang dan jajan.

"Cukup-cukupkan, ya, Tur," kata Ibu. Tentu saja sangat mepet. Saya tahu diri dan tak mungkin protes. Ayah dan Ibu pasti sudah berhitung. Saya punya tiga kakak dan satu adik, yang semuanya sekolah serta berkuliah. Semua harus mendapat bagian yang adil.
 
Saya putar otak. Nah, rupanya hampir setiap hari kami sebagai murid harus memfotokopi lembar kerja siswa. Belum lagi ada tugas yang harus diperbanyak. Saya berpikir, ini peluang! Saya menjadi Chairul Tanjung, si Anak Singkong, yang berbisnis fotokopi. Sementara idola saya itu mengawali bisnis fotokopi saat kuliah, saya memulainya lebih awal, yakni saat SMA.

Tanpa membuang waktu, beberapa tempat fotokopi di Bandung saya survei. Mencari yang termurah agar margin keuntungannya besar. Akhirnya dapat di daerah Buah Batu, dengan tarif Rp 20 selembar. Sementara itu, fotokopi di dekat sekolah 4-5 kali lipat lebih mahal.

Segera saya umumkan kepada teman sekelas bahwa saya menyediakan layanan jasa fotokopi. Teman-teman pun antusias. Awalnya teman sekelas, kemudian saya menawari kelas sebelah. Begitu seterusnya hingga satu angkatan yang berjumlah 10 kelas memanfaatkan layanan jasa saya.

Kesibukan itu tak lantas membuat pelajaran tertinggal. Saya juga menjadi anggota tim Olimpiade Matematika mewakili sekolah. Prestasi yang baik dalam bidang akademis itu tak lepas dari cita-cita saya masuk Jurusan Teknik Perminyakan ITB.

Sayangnya, saat mengikuti psikotes menjelang kenaikan kelas tiga SMA, saya divonis mengidap buta warna parsial. Sederhana saja sebenarnya, saya tak bisa membedakan warna ungu dengan biru. Kondisi yang tak pernah saya sadari sebelumnya. Cita-cita pun pupus. Salah satu syarat masuk Jurusan Teknik Perminyakan adalah bebas buta warna.

Saya kecewa berat atas kenyataan itu. Seolah-olah masa depan menjadi sangat gelap. Wajah saya digelayuti mendung, berhari-hari murung. Melihat kondisi anaknya yang menyedihkan itu, Ayah menasihati, “Ketika satu pintu tertutup, masih ada seribu pintu lain yang terbuka. Jangan menyerah. Ayah memang selalu menjadi obor penerang keluarga kami. Dialah yang membimbing kami semua agar tidak gampang berputus asa. 

Saya kembali mencari-cari informasi tentang jurusan di ITB. Ternyata memang ada beberapa jurusan yang tak memberi syarat bebas buta warna. Saat mengikuti tes, akhirnya saya memilih Jurusan Teknik Informatika, dan Jurusan Teknik Dirgantara sebagai pilihan kedua. Alhamdulillah, saya berhasil lolos masuk Jurusan Teknik Dirgantara.  

Usaha layanan jasa fotokopi yang saya jalankan di SMA terus berlanjut hingga kuliah. Bahkan bertambah dengan berjualan boneka. Emperan Masjid Salman pun menjadi saksi. Boneka diambil langsung dari pabrik, lalu saya jajakan dengan menggelar lapak di emperan. Tidak ada rasa malu lagi dalam kamus hidup ini.

Segala model usaha saya geluti. Termasuk bisnis multilevel marketing (MLM) hingga masuk jajaran leader club dalam waktu relatif singkat. Dari MLM ini, saya belajar melakukan presentasi. Panggung demi panggung saya lahap. Namun, masuk tingkat tiga, saya putuskan berhenti agar lebih cepat lulus kuliah.  


Menembus Perusahaan Multinasional

Saya terbilang mudah mempelajari sistem dengan logika runut. Hanya, kalau berhubungan dengan kesenian, terus terang saya angkat tangan. Tampaknya karena otak kiri saya sangat dominan. Kelebihan itu saya optimalkan, termasuk saat menyusun strategi agar cepat mendapat gelar sarjana.

Strategi saya membuat skripsi yang unik. Saat itu saya bikin perangkat lunak untuk optimalisasi kargo, sesuatu yang masih jarang dikuasai, termasuk oleh para dosen di jurusan. Saya pikir, kalau tak ada yang ahli dalam bidang ilmu ini, pasti mudah diluluskan.  

Trik lainnya mulai melamar pekerjaan sebelum lulus. Benar saja, saya diterima di Astra International. Sebelum sidang skripsi dilakukan, saya menghadap dosen penguji. "Pak, saya mahasiswa Bapak yang pertama diterima kerja di angkatan ini. Bulan depan sudah harus masuk," ujar saya. Itu bukanlah trik ilegal, dan hanya butuh sedikit kecerdikan.

Hitung-hitungan saya terbukti. Saya diloloskan tanpa revisi. Menjadi lulusan tercepat dan langsung diterima kerja di perusahaan multinasional terkemuka. Salah satu perusahaan idaman ribuan pencari kerja.

Saya belajar banyak hal di Astra International. Salah satunya tentang "Toyota Way", prinsip manajemen Toyota Motor Corporation. Kelak, filosofi ini saya terapkan di perusahaan yang saya bangun. Saya pun terus menggali potensi diri. Termasuk menerima tantangan mengikuti ujian masuk Jardine Group. Perusahaan induk yang diisi karyawan terpilih.

Lolos masuk Jardine Group tak membuat cita-cita menjadi pengusaha kendur. Pada akhir pekan, saya menjalankan bisnis jual beli mobil. Hasil usaha ini cukup menjanjikan. Bahkan, saya menyewa sebuah tempat untuk dijadikan ruang pameran. Cuma, baru setahun karyawan saya berlaku curang. Showroom itu pun tutup.

Gagal dalam bisnis jual beli mobil, saya pindah ke usaha keramba ikan di Waduk Jatiluhur. Karena tidak ada yang mengawasi, lagi-lagi bangkrut juga. Uang yang saya kumpulkan tenggelam bersama ikan-ikan di keramba. Apes. Saya tak mengira keapesan ini belum apa-apa dibanding keapesan selanjutnya.

Abah Si Pesantren Hidup

Dalam kehidupan kami, Abah tampil sebagai sosok pekerja keras. Ia berjuang dari bawah, pernah menjadi seorang loper koran dengan sepeda dan tukang tahu. Ia pernah bercanda, sekarang sedang tren berkeliling Bandung naik sepeda, padahal puluhan tahun lalu Abah sudah sering melakukannya sampai bosan.  

Abah diterima di sebuah perusahaan susu sebagai tukang angkat hingga pensiun sebagai general manager. Saya banyak belajar dari Abah soal pola pikir dan kehidupan.

Ia mengajarkan self selling, sebelum menjual produk, harus menjual diri sendiri dulu. Setelah dipercaya orang, baru produk itu akan terjual. Ini saya jalankan.

Dalam hal pekerjaan pun, sosoknya sangat lurus. Tidak neko-neko dan kebal terhadap godaan harta. Abah tak pernah meminta insentif saat menjual produk perusahaannya. Keluarga kami hidup mengandalkan gaji Abah saja, yang tentu tidak berlebihan.

Ia pun memberi teladan hidup soal keimanan. Hingga saat ini berusia 72 tahun, Abah tidak pernah melewatkan yang namanya tahajud. Dialah pesantren hidup saya.

Hingga kini, saya tak pernah mengabaikan restu orang tua. Buat saya, doa orang tua nomor satu. Saya merasa kesuksesan yang hadir dalam kehidupan ini bukan karena kehebatan diri. Namun, berkat doa orang tua, yang bisa menembus langit, memudahkan langkah-langkah.

Teladan ini pula yang saya dapat dari sosok CT. Tak terlihat kesan angkuh dalam sosoknya sebagai seorang konglomerat di Indonesia. Bukan hanya CT, anak-anaknya pun sangat luwes dan humble. Ini berkat didikan orang tua yang luar biasa.

Saya pikir, tak mudah mendidik seperti itu di tengah kesibukan CT yang luar biasa sebagai pemimpin berbagai perusahaan. Dua sosok yang luar biasa, Abah dan CT, adalah inspirasi besar saya. Mereka menjadi contoh buat saya dalam menjalankan perusahaan, sekaligus menjadi ayah yang luar biasa bagi keluarga.  



Dari Cireng ke Komposit Material

Masuk Jardine Group membuat kesibukan bertambah. Berangkat subuh, pulang pukul 10 malam, nyaris tak pernah melihat matahari. Keindahan matahari terbit ataupun terbenam semua terlewatkan. Kalau seperti ini terus, bisa-bisa ruang dan waktu untuk menjadi pengusaha bisa tertutup. Saya putuskan pindah perusahaan. Akhirnya masuk Medco Energy dan belajar soal trading energi.

Di perusahaan ini pula saya bertemu dengan calon istri. Dengan alasan itu, saya mengalah pindah perusahaan. BUMN Pertamina menjadi tujuan dan diterima di bagian marketing.

Karena waktu lebih longgar, saya bisa mendirikan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi. Belum juga berjalan, partner yang dipercaya mengurus keuangan menggelapkan dana miliaran rupiah. Saya kebagian menanggung utang Rp 2,5 miliar. Inilah nasib apes saya selanjutnya yang bikin pusing kepala, seperti yang saya ceritakan sebelumnya.

Saya putuskan mencari jawabannya lewat salat istikharah. Mohon ditunjukkan pilihan yang benar pada masa sulit itu. Akhirnya saya putuskan memilih pilihan kedua, pilihan yang berat, yakni menjadi kesatria. Satu per satu pihak yang punya permasalahan keuangan saya datangi. Saya memohon diberi keringanan untuk mencicil utang. Untunglah, mereka berbaik hati mengizinkan.

Demi melunasi utang tersebut, semua jual beli saya lakukan. Mulai bisnis batu pecah di Cilegon, menjual pasir silika, hingga broker dump truck. Alhamdulillah, dalam waktu dua tahun semua utang berhasil saya lunasi. Berkat usaha mencari cuan itu pula, saya kembali bertemu dengan beberapa teman SMA.

Teman ini rutin membuat cireng sejak 2011. Namun, hanya berskala rumahan dan diproduksi kalau ada pesanan saja. Menurut saya, cireng ini layak dikelola dengan profesional karena pasarnya ada. Pada 2014, kami mendirikan perusahaan bernama PT Bonju Indonesia Mas.

Perusahaan itu memasarkan cireng dengan merek Cireng Salju. Kemasannya pun dibuat elegan dan sistem penjualan lewat distributor alias tidak langsung ke konsumen. Pada Juni 2014, Cireng Salju resmi meluncur ke pasar, berbarengan dengan acara pameran wirausaha di Taman Mini Indonesia Indah.

Prinsip "Toyota Way" saya terapkan. Mulai kedatangan bahan baku, produksi hingga distribusi terkontrol. Dari produk rumahan yang memproduksi 20 buah, kemudian naik menjadi 400 bungkus sehari. Bahkan, puncaknya sekitar 2017, produksi Cireng Salju bisa menembus 6 ribu bungkus per hari.

Pada 2019, saya putuskan melepas saham saya di perusahaan itu. Saya merasa kurang cocok dalam bisnis F&B. Tahun itu juga saya berhenti berkarier di Pertamina. Ingin total dan berfokus menjadi pengusaha. Mimpi yang saya idam-idamkan sejak masa kuliah.

Saat itu seorang kawan yang bekerja di perusahaan minyak di Dubai mengenalkan teknologi pipa yang terbuat dari serat fiber atau fiber reinforced pipe (FRP). Biasanya perusahaan di bidang perminyakan menggunakan pipa yang terbuat dari baja karbon.

Teknologi FRP ini bisa diaplikasikan untuk menyalurkan fluida dan gas. Keunggulannya tidak akan berkarat, sehingga boleh dibilang zero maintenance. "Kalau pakai pipa dari baja karbon, tinggal diketok, bocor, minyak dicuri, pipa dilas lagi, enggak ketahuan," ujar teman saya itu.

Sama seperti saat melihat teman-teman sekelas di SMA membutuhkan layanan jasa fotokopi, saya bilang kepada kawan itu, "Ini rising sector. Peluangnya besar!" Pasar di Indonesia besar, dan belum ada perusahaan yang masuk ke dalamnya. Saya tantang ia untuk meninggalkan gaji dolar di Dubai.

Kami ternyata satu visi. Ia menerima tantangan dan kembali ke Indonesia. Beberapa waktu kemudian, berdirilah Wana Dirga Nusantara. Kami menjadi distributor dan instalator FRP pertama di Indonesia. Sejumlah perusahaan minyak menjadi klien kami, termasuk SKK Migas.

Tak hanya ingin menjadi distributor, kami meminta transfer teknologi dari perusahaan di Dubai itu. Saya mendirikan pabrik di Balaraja, Tangerang. Memang belum secanggih di Dubai yang menghasilkan FRP dengan mesin bertekanan tinggi. Untuk saat ini, kami baru mampu memakai low-pressure machine, " Pungkasnya.


@Sonny/Tajuknews.com/tjk/09/2022.

Komentar

Berita Terkini