|

IKLAN BANNER

IKLAN BANNER
PEMILU 2024

Boikot Film di Era Media Sosial, Ketika Netizen Jadi Sutradara Moral

 

Nehemia Pareang Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi, Pascasarjana Universitas Sahid mengatakan bahwa "Kehadiran media sosial telah menciptakan ruang baru bagi partisipasi publik, yang tidak hanya mempercepat penyebaran informasi, tetapi juga memungkinkan terbentuknya opini kolektif yang bersifat performatif dan koersif. di Jakarta, 26/05/2025. Menurutnya publik digital tidak hanya mengonsumsi konten, tetapi juga turut menilai, menghakimi, bahkan “menghukum” konten tersebut berdasarkan standar moral, etika, dan identitas kultural tertentu. @Sonny/Tajuknews.com/tjk/05/2025.


TAJUKNEWS.COM/ Jakarta. - Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi, Pascasarjana Universitas Sahid Dalam ekosistem digital kontemporer, posisi audiens dalam proses konsumsi media mengalami pergeseran mendasar yang tidak bisa diabaikan. Jika dahulu penonton hanya berada di hilir komunikasi, menerima, menilai secara personal, dan beranjak dari satu tontonan ke tontonan lain. Kini penonton turut menjadi aktor sentral dalam ekosistem produksi dan validasi makna. 

"Kehadiran media sosial telah menciptakan ruang baru bagi partisipasi publik, yang tidak hanya mempercepat penyebaran informasi, tetapi juga memungkinkan terbentuknya opini kolektif yang bersifat performatif dan koersif. 

"Dalam konteks ini, publik digital tidak hanya mengonsumsi konten, tetapi juga turut menilai, menghakimi, bahkan “menghukum” konten tersebut berdasarkan standar moral, etika, dan identitas kultural tertentu, " Ujar Nehemia Pareang, di Jakarta, 26/05/2025.


Fenomena ini terlihat dengan sangat gamblang dalam kasus film Indonesia A Business Proposal yang dirilis pada Februari 2025. Film ini diadaptasi dari drama Korea berjudul sama, yang sebelumnya meraih popularitas tinggi di platform streaming. Alih-alih mendapatkan sambutan antusias, film adaptasi ini justru diterpa badai kontroversi yang berakar dari pernyataan aktor utamanya, Abidzar Al Ghifari, di media sosial. 


"Dalam salah satu unggahan atau wawancara yang kemudian tersebar luas, Abidzar memberikan pernyataan yang dianggap ofensif oleh komunitas penggemar K-drama menyinggung kualitas cerita asli dan meremehkan basis penggemarnya. Reaksi publik pun tak terhindarkan, " Katanya.


Dalam waktu kurang dari 48 jam sejak kontroversi mencuat, tagar #BoikotABusinessProposal menjadi trending topic di berbagai platform media sosial seperti Twitter (kini X), TikTok, dan Instagram. Tagar tersebut tidak berdiri sendiri tapi disertai dengan berbagai bentuk konten reaktif seperti cuplikan video, meme sindiran, utas panjang berisi analisis kritis, hingga kampanye seruan untuk tidak menonton film tersebut. 


Publik digital dengan cepat membentuk sebuah gerakan sosial yang bersifat horizontal dan partisipatif, menuntut pertanggungjawaban moral dari aktor dan tim produksi film. Dampaknya sangat konkret dan terukur. Dalam satu minggu pertama, angka penonton film ini dilaporkan turun hingga 40 persen. Sejumlah jaringan bioskop di kota besar bahkan menghapus jadwal penayangan karena animo yang menurun drastis. 


Film ini juga mendapat penilaian 1/10 (dari total 22.495 reviewer) di platform ulasan film IMDb. Apa yang semula menjadi momen peluncuran sebuah karya film, dalam hitungan hari berubah menjadi krisis reputasi massal. Namun, yang paling penting dari semua ini bukan sekadar kegagalan film tersebut secara komersial, melainkan bagaimana netizen telah mengambil alih peran sebagai aktor kultural yang menentukan nilai dan makna dari suatu karya. 

"Ini bukan hanya soal kritik terhadap kualitas film, melainkan refleksi dari cancel culture sebagai mekanisme kontrol sosial baru, di mana publik secara kolektif menarik dukungan dari tokoh, karya, atau institusi yang dianggap menyimpang dari nilai bersama. 


Dalam situasi seperti ini, netizen bukan lagi sekadar penonton, tetapi telah menjelma sebagai “sutradara moral” pengendali wacana dan pengawal etika publik di era media sosial. Memahami Cancel Culture sebagai Drama Sosial Cancel culture tidak muncul secara acak atau semata-mata sebagai ledakan emosi publik. 


Ia merupakan bentuk kontemporer dari mekanisme kontrol sosial horizontal yang berkembang dalam masyarakat digital, di mana komunitas daring secara kolektif menegakkan batas-batas normatif terhadap tindakan, ujaran, atau representasi yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai tertentu. Esensi dari cancel culture adalah penarikan dukungan publik terhadap figur, produk, atau institusi sebagai bentuk hukuman sosial, yang biasanya dilakukan melalui ajakan boikot, penghapusan keterlibatan, atau bahkan penyerangan reputasi secara digital," Kata Nehemia Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi.

Menurut Lisa Nakamura (2015), cancel culture adalah “a cultural boycott practiced as a response to perceived transgressions, especially by public figures or institutions, that violate collective moral or ethical expectations.” Dengan kata lain, tindakan cancel bukanlah bentuk pembungkaman, melainkan manifestasi dari tuntutan akuntabilitas di ruang publik digital. 


Dalam artikel lainnya, Eve Ng (2020) menjelaskan bahwa cancel culture adalah “a form of digital media participation rooted in marginalized communities seeking justice,” yang berarti bahwa fenomena ini juga dapat dibaca sebagai ekspresi politik dari kelompok-kelompok yang sebelumnya memiliki akses terbatas terhadap institusi kekuasaan budaya. 


"Untuk memahami bagaimana cancel culture bekerja dalam praktik sosial, pendekatan dramatistik dari Kenneth Burke (1969) dapat digunakan. Burke memandang komunikasi sebagai tindakan simbolik yang menyerupai drama, di mana setiap elemen sosial memiliki peran dalam membangun makna. 


Model pentad dramatistik yang dikemukakan Burke mencakup lima elemen utama: scene (konteks), act (tindakan), agent (pelaku), agency (alat), dan purpose (tujuan). Pendekatan ini relevan untuk membaca cancel culture sebagai bentuk “drama sosial” yang berlangsung di ruang digital. 

Dalam konteks kasus film A Business Proposal, scene yang dimaksud adalah ekosistem media sosial seperti Twitter, Instagram, dan TikTok yang memungkinkan penyebaran narasi dalam kecepatan tinggi. Ruang-ruang ini juga memfasilitasi partisipasi kolektif publik dalam membentuk opini dan agenda diskursif. Act dalam drama ini adalah ajakan boikot yang dimobilisasi melalui tagar seperti #BoikotABusinessProposal, video reaksi, kampanye pelaporan akun resmi, hingga penurunan rating film di berbagai platform ulasan daring. 


"Aksi-aksi ini tidak hanya dilakukan secara individual, tetapi disusun dalam kerangka kolektif, mencerminkan bentuk partisipasi digital yang terorganisasi. Agent dari drama sosial ini meliputi berbagai pihak: netizen yang mengorganisir kampanye, komunitas penggemar K-drama yang merasa “dikhianati” oleh kualitas adaptasi film, media daring yang memperkuat narasi boikot melalui pemberitaan, dan tentu saja Abidzar Al Ghifari sebagai figur sentral kontroversi. 

Agency atau alat yang digunakan meliputi teknologi digital yang mempercepat viralitas konten: algoritma trending, fitur retweet, repost, duet TikTok, dan sistem komentar massal. Media sosial bukan hanya saluran, melainkan aktor algoritmis yang berperan aktif dalam membentuk sebaran isu. 

Sementara purpose dari gerakan ini adalah memberikan konsekuensi sosial terhadap tindakan yang dianggap ofensif atau tidak menghormati komunitas penggemar dan budaya asli. Dalam kerangka cancel culture, tujuan moral kolektif ini terwujud melalui tekanan publik agar pihak yang terlibat mengakui kesalahan, meminta maaf, atau bahkan mundur dari ruang publik. Cancel culture dalam pengertian ini dapat dilihat sebagai bentuk negosiasi nilai dan batas representasi dalam ruang publik digital. 

"Ia merupakan ekspresi dari demokratisasi kritik budaya, di mana publik tidak hanya menanggapi representasi, tetapi juga menuntut akuntabilitas terhadap proses produksinya. Ia adalah performa simbolik yang tidak hanya mengekspresikan ketidaksetujuan, melainkan juga memproduksi kembali standar moral dan kultural yang layak dipertahankan oleh masyarakat dalam era informasi. Namun, seperti ditulis oleh Eve Ng (2020), cancel culture juga memiliki paradoks: meskipun berasal dari upaya pemberdayaan dan keadilan sosial, ia dapat bertransformasi menjadi bentuk eksklusi baru ketika dijalankan secara impulsif atau tanpa dialog. 

Oleh karena itu, memahami cancel culture tidak cukup hanya dari sisi gejalanya, tetapi juga dari dinamika kekuasaan, media, dan partisipasi digital yang melingkupinya. Media Sosial: Medan Pertarungan Makna dan Kuasa Simbolik Media sosial telah berevolusi dari sekadar medium komunikasi menjadi arena diskursif yang menentukan arah narasi budaya. 

Dalam kasus boikot A Business Proposal, media sosial tidak hanya menjadi alat penyebaran informasi, tetapi juga perangkat pembingkaian isu (framing) yang mempengaruhi bagaimana publik memahami dan merespons kontroversi. Setidaknya terdapat tiga bentuk framing yang dominan: Framing Moralitas Netizen membingkai pernyataan Abidzar sebagai bentuk pelecehan terhadap komunitas penggemar dan karya aslinya. 

Konten viral yang mengutip potongan wawancara aktor tersebut disertai caption seperti “Dia menghina penonton yang menunggu dengan harapan tinggi”, menjadikan moralitas sebagai landasan tuntutan boikot. Framing ini menciptakan persepsi bahwa partisipasi dalam gerakan boikot merupakan tindakan yang secara moral dibenarkan. Framing Budaya Adaptasi lokal yang dianggap “menurunkan kualitas” dibandingkan versi Korea menjadi titik kritik berikutnya. Narasi yang berkembang mengarah pada asumsi bahwa industri film lokal tidak menghargai esensi budaya asli, sehingga dianggap “mengkhianati” semangat penggemar drama Korea. 

Framing Loyalitas Dalam konteks ini, netizen yang tidak menunjukkan sikap mendukung boikot justru mengalami tekanan sosial. Mereka dianggap “tidak berpihak” atau “berkhianat” terhadap komunitas penggemar. Fenomena ini memperkuat efek spiral of silence (Noelle-Neumann, 1974), di mana individu memilih diam demi menghindari isolasi sosial dalam ekosistem digital yang cenderung binaristik antara mendukung atau menolak. 

"Ketika Strategi Komunikasi Terlambat: Ruang Publik Dikuasai oleh Netizen Dalam situasi krisis di era digital, kecepatan dan kejelasan dalam merespons menjadi sangat krusial. Sayangnya, dalam kasus A Business Proposal, respons dari pihak film dan aktor utama datang terlalu lambat. 

"Kontroversi yang dipicu oleh pernyataan Abidzar Al Ghifari berkembang pesat di media sosial, namun tidak segera ditanggapi secara resmi oleh tim produksi maupun sang aktor. Selama dua hari pertama yang dikenal sebagai golden time dalam manajemen komunikasi krisis, tidak ada klarifikasi yang dapat meredam eskalasi opini publik yang terus menguat. Akibat keterlambatan tersebut, narasi di ruang digital terbentuk tanpa kendali dari pihak yang seharusnya bertanggung jawab. " Cetus Nehemia.


Netizen mengambil alih peran sebagai produsen makna: menginterpretasikan pernyataan Abidzar sebagai bentuk penghinaan terhadap komunitas penggemar K-drama dan karya aslinya. Narasi ini menyebar dengan cepat, didorong oleh video reaksi, komentar influencer, meme sindiran, dan pemberitaan media daring. 

Dalam situasi seperti ini, absennya suara resmi sama artinya dengan membiarkan publik membentuk persepsi tanpa filter. Ketika klarifikasi akhirnya muncul, justru memperburuk keadaan. 

"Abidzar menyampaikan bahwa komentarnya “hanya bercanda”, sebuah kalimat yang terdengar meremehkan bagi banyak pihak. Di mata publik, pernyataan tersebut bukanlah klarifikasi, melainkan bentuk pembelaan diri yang tidak sensitif terhadap perasaan komunitas yang sudah lebih dahulu merasa tersinggung. 

Padahal, dalam komunikasi krisis, respons yang empatik jauh lebih penting daripada respons yang defensif. Permintaan maaf yang menghindari tanggung jawab hanya akan memperpanjang krisis. 


Di tengah tekanan yang terus meningkat, pihak rumah produksi Falcon Pictures akhirnya merilis surat terbuka sebagai bentuk permintaan maaf resmi. Surat tersebut dimuat di berbagai kanal media dan media sosial resmi mereka. Namun, lagi-lagi, publik merespons dengan dingin. Banyak yang menganggap surat tersebut sebagai langkah formalitas belaka, yang tidak menyentuh substansi permasalahan dan tidak disampaikan secara personal oleh aktor utama yang terlibat. 

Surat terbuka ini pun tenggelam di tengah derasnya arus komentar netizen yang sudah terlanjur kecewa. Dalam berbagai platform, pengguna menyebut surat tersebut “terlambat”, “tidak menyentuh”, bahkan “sekadar damage control tanpa niat tulus”. Komunikasi yang tidak menyentuh akar persoalan hanya memperkuat kesan bahwa rumah produksi Falcon Pictures tidak memahami ekspektasi dan sensitivitas audiens masa kini. 

Dalam kerangka Situational Crisis Communication Theory (SCCT) yang dikembangkan oleh W. Timothy Coombs, dijelaskan bahwa strategi komunikasi krisis seharusnya disesuaikan dengan tingkat tanggung jawab yang dirasakan publik terhadap pihak yang terlibat dalam krisis. 

Dalam kasus seperti ini, ketika aktor utama dinilai publik sebagai pihak yang paling bertanggung jawab, maka pendekatan yang paling tepat adalah rebuild strategy, yakni strategi yang menekankan pengakuan kesalahan, permintaan maaf yang jelas dan tulus, serta komitmen untuk memperbaiki situasi secara nyata (Coombs, 2007). 


Namun dalam praktiknya, strategi tersebut tidak dijalankan secara konsisten. Tidak ada narasi kuat yang mampu membangun kembali kepercayaan publik. Tidak ada langkah nyata yang menunjukkan tanggung jawab sosial lebih dalam dari sekadar pernyataan formal. Akibatnya, film kehilangan bukan hanya penonton, tetapi juga legitimasi sosial dan momentum komersialnya. Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi industri hiburan bahwa reputasi di era digital tidak hanya ditentukan oleh isi karya, tetapi juga oleh kecakapan dalam membaca krisis dan membangun komunikasi yang jujur, empatik, dan tepat waktu. 

"Implikasi Jangka Panjang: Cancel Culture sebagai Instrumen Kontrol Budaya Fenomena cancel culture memberikan pelajaran strategis bagi industri hiburan, khususnya dalam kaitannya dengan manajemen reputasi dan relasi antara produsen dan audiens di era digital. Meskipun kerap dianggap negatif karena sifatnya yang impulsif dan viral, cancel culture pada dasarnya mencerminkan bahwa publik kini memiliki daya tawar yang semakin besar dalam proses produksi dan sirkulasi budaya. " Imbuhnya.


Netizen bukan lagi pihak yang pasif mengonsumsi konten, melainkan agen aktif yang mampu membentuk narasi, menentukan standar representasi, dan menuntut pertanggungjawaban sosial dari kreator budaya. Salah satu implikasi paling nyata adalah kebutuhan akan kesiapan digital yang lebih matang dari pelaku industri film. 


"Penting bagi rumah produksi untuk membangun sistem social listening yang solid guna mendeteksi potensi krisis sejak dini. Penggunaan alat seperti Brand24, Talkwalker, atau sejenisnya dapat membantu memantau sentimen publik secara real-time, sehingga respon terhadap isu tidak hanya reaktif, tetapi juga strategis dan terukur. Lebih jauh, kasus seperti ini juga menekankan pentingnya edukasi media dan literasi digital bagi aktor, kru, dan pekerja kreatif di sektor hiburan. 

"Pemahaman tentang dinamika ruang publik digital, manajemen media sosial, serta komunikasi empatik dalam krisis harus menjadi bagian integral dari sistem kerja industri kreatif. Pelatihan tersebut tidak boleh hanya bersifat situasional, melainkan dibangun sebagai kapasitas institusional yang siap kapan pun dibutuhkan. 

Tak kalah penting, industri perlu menyadari bahwa partisipasi audiens dalam produksi budaya semakin tak terhindarkan. Dalam konteks adaptasi dari karya populer seperti A Business Proposal, pelibatan penggemar sejak awal proses kreatif dapat menjadi jembatan antara ekspektasi audiens dan visi kreator. Forum diskusi, survei daring, maupun konten dokumenter di balik layar bukan hanya berfungsi sebagai alat promosi, tetapi juga sebagai strategi membangun rasa memiliki terhadap karya yang dihasilkan. 



"Keterlibatan ini bukan sekadar gimmick, melainkan wujud dari transparansi dan penghargaan terhadap posisi audiens sebagai bagian dari ekosistem produksi budaya. Dengan demikian, cancel culture terlepas dari kompleksitas dan kontroversinya, harus dibaca bukan hanya sebagai ancaman, tetapi juga sebagai instrumen kontrol budaya yang menuntut industri untuk lebih inklusif, akuntabel, dan terbuka terhadap dialog. Di era digital, legitimasi sebuah karya tidak hanya berasal dari isi naratifnya, tetapi juga dari proses dan cara ia menjawab ekspektasi publik yang semakin kritis dan partisipatif".


Kuasa Netizen di Era Cancel Culture: Dari Aksi Kolektif ke Ruang Refleksi Cancel culture dalam kasus boikot film A Business Proposal tidak bisa dipandang sekadar sebagai “keramaian sesaat” di media sosial. Ia merupakan refleksi dari transformasi relasi antara produsen dan konsumen budaya, di mana publik digital memiliki andil besar dalam menentukan arah, nilai, dan legitimasi suatu karya. 

"Namun demikian, cancel culture juga membawa tantangan. Ketika tindakan kolektif berubah menjadi mob justice, ruang untuk dialog dan klarifikasi menjadi sempit. Maka, keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial perlu dibangun secara kolaboratif antara kreator, media, dan publik. Dalam dunia yang digerakkan oleh algoritma dan trending topic, keberhasilan sebuah karya tidak lagi ditentukan semata oleh kualitas naratif, tetapi juga oleh kepekaan sosial, transparansi, dan kemampuan membangun komunikasi yang humanis, Tukasnya. 

"Netizen kini bukan hanya penonton yang kritis, tetapi juga mitra aktif dalam membentuk lanskap budaya media yang lebih sehat, adil, dan bertanggung jawab. 

Daftar Pustaka 

1. Burke, Kenneth. (1969). A Grammar of Motives. Berkeley: University of California Press. 

2. Coombs, W. Timothy. (2007). Protecting Organization Reputations During a Crisis: The Development and Application of Situational Crisis Communication Theory. Corporate Reputation Review, 10(3), 163–176. https://link.springer.com/article/10.1057/palgrave.crr.1550049 

3. Ng, Eve. (2020). No Grand Pronouncements Here...: Reflections on Cancel Culture and Digital Media Participation. Television & New Media, 21(6), 621–627. https://doi.org/10.1177/1527476420918828 

4. Noelle-Neumann, Elisabeth. (1974). The Spiral of Silence: A Theory of Public Opinion. Journal of Communication, 24(2), 43–51. https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1460-2466.1974.tb00367.x 

5. Nakamura, Lisa. (2015). The Unwanted Labour of Social Media: Women of Colour Call Out Culture as Venture Community Management. New Formations, 86, 106–112. https://www.lisanakamura.net/wp-content/uploads/2011/01/unwanted-labor-of-social-media-nakamura1.pdf


@Sonny/Tajuknews.com/tjk/05/2025.

Komentar

Berita Terkini