TAJUKNEWS.COM/ Jakarta. – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah berjalan selama satu tahun sebagai salah satu kebijakan nasional paling luas jangkauannya dalam sejarah Indonesia. Program ini dilaksanakan di berbagai daerah, menyentuh jutaan anak sekolah setiap hari, melibatkan anggaran negara yang besar, rantai pasok pangan yang panjang, serta proses distribusi yang berlangsung terus-menerus.
"Dalam skala seperti ini, MBG bukan hanya soal pemberian makanan, tetapi tentang bagaimana negara mengelola sistem yang berhubungan langsung dengan keselamatan generasi masa depan.
Dalam praktik kebijakan publik, hanya sedikit program yang sekaligus menyatukan isu kesehatan, pendidikan, logistik, dan disiplin negara, dan MBG berada tepat di titik itu
Menurut Ir. R. Haidar Alwi, MT, Presiden Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, serta Wakil Ketua Dewan Pembina Ikatan Alumni ITB, kebijakan gizi anak harus dibaca sebagai urusan kenegaraan, bukan sekadar program sosial, Ujarnya dalam kegiatan Diskusi Publik Nasional yang di gelar Media Nasional INANEWS, di Jakarta, 15/12/2025.
“Ketika negara menjalankan program sebesar MBG, yang diuji bukan niatnya, tetapi kecerdasannya mengelola sistem. Gizi anak menuntut disiplin, bukan improvisasi,"ujar Haidar Alwi.
Pelaksanaan MBG selama satu tahun memperlihatkan satu realitas penting: semakin besar skala kebijakan, semakin tinggi kompleksitas risikonya.
Bahan baku harus aman, proses pengolahan harus higienis, distribusi harus tepat waktu, dan pengawasan harus berjalan setiap hari.
Satu titik lemah saja dapat berdampak langsung pada kesehatan anak dan kepercayaan masyarakat. Di sinilah MBG tidak lagi bisa diperlakukan sebagai program karitatif, melainkan sebagai ujian tata kelola negara.
Dari Kompleksitas Lapangan ke Kebutuhan Sistem Negara
Di lapangan, MBG bersentuhan dengan kondisi geografis yang beragam, kapasitas daerah yang berbeda, serta dinamika logistik yang tidak selalu stabil. Kompleksitas ini menuntut negara bekerja dengan pendekatan yang seragam dalam standar, meski berhadapan dengan keragaman kondisi.
“Dalam kebijakan publik berskala nasional, kompleksitas lapangan tidak boleh dijawab dengan solusi parsial. Negara harus bekerja dengan sistem yang mampu mengunci risiko sejak awal,” Ujar Haidar Alwi.
Kesadaran atas kompleksitas inilah yang melahirkan kebutuhan akan satu mekanisme kerja yang mampu menjaga standar secara konsisten di seluruh wilayah.
SPPG sebagai Simpul Risiko Kebijakan Publik
Kebutuhan sistem tersebut berpusat pada Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). SPPG bukan sekadar fasilitas memasak, melainkan simpul kebijakan negara tempat bertemunya anggaran publik, rantai pasok pangan, keselamatan anak, dan kepercayaan masyarakat.
"Karena seluruh proses MBG, dari bahan baku hingga makanan sampai ke anak, bertemu di SPPG, simpul ini menjadi jantung operasional kebijakan tersebut.
“SPPG adalah titik krusial. Jika simpul ini bekerja longgar, maka seluruh kebijakan di atasnya ikut rapuh,” tegas Haidar Alwi.
Dalam perspektif kebijakan publik, titik seperti ini dikenal sebagai high-risk policy node. Karena itu, SPPG menuntut tata kelola yang disiplin, pencatatan yang rapi, dan pencegahan risiko yang berjalan sejak awal.
Logika Negara Melibatkan Polri dalam SPPG
Dari kebutuhan menjaga disiplin inilah keterlibatan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) harus dipahami. Negara modern tidak bekerja dengan pembagian peran yang kaku, melainkan dengan memanfaatkan kapasitas institusional yang paling siap menjaga ketertiban sistem.
Polri memiliki struktur hingga tingkat daerah, budaya kerja berbasis SOP, serta pengalaman panjang dalam manajemen risiko dan pengendalian situasi kompleks.
“Polri tidak ditempatkan untuk mengurus menu. Perannya adalah menjaga disiplin kebijakan agar sistem tidak bocor di lapangan,”jelas Haidar Alwi.
Kehadiran Polri di SPPG dimaksudkan untuk memastikan standar dijalankan secara konsisten dan risiko dicegah sebelum berkembang.
Peran Polri di SPPG: Pencegahan sebagai Inti Kebijakan.
Dalam praktiknya, peran Polri di SPPG bersifat preventif. Mulai dari memastikan bahan baku memiliki sumber yang jelas, mendorong standar higienitas dalam pengolahan, hingga menjaga ketertiban distribusi agar makanan sampai tepat waktu dan layak konsumsi.
“Dalam urusan gizi anak, negara tidak boleh menunggu insiden. Pencegahan adalah bentuk tanggung jawab tertinggi,” ujar Haidar Alwi.
Pendekatan ini sejalan dengan prinsip quality assurance dalam kebijakan publik, di mana negara hadir sebagai penjaga mutu sistem, bukan sekadar pemadam krisis.
Disiplin Kebijakan dan Arah Presiden
Presiden Prabowo Subianto secara terbuka memberikan apresiasi terhadap peran Polri dalam mendukung MBG melalui SPPG. Apresiasi ini menegaskan arah kebijakan: program strategis harus dijalankan dengan disiplin tinggi dan tanggung jawab penuh.
“Apresiasi Presiden menunjukkan bahwa negara memilih kehati-hatian dan keselamatan publik di atas kenyamanan administratif,” kata Haidar Alwi.
Sikap ini menandai kedewasaan negara dalam mengelola kebijakan besar, tidak tergesa, tetapi juga tidak lengah.
Negara Hadir dengan Sistem, Bukan Improvisasi
Satu tahun MBG memberikan pelajaran penting bahwa kebijakan besar tidak bisa bergantung pada niat baik semata. Ia membutuhkan struktur, disiplin, dan institusi yang mampu menjaga standar hingga ke titik paling bawah.
"Dalam konteks ini, kehadiran Polri di SPPG adalah bagian dari upaya negara menjaga mutu kebijakan publiknya. MBG bukan sekadar kebijakan hari ini, melainkan cara negara menyiapkan Indonesia puluhan tahun ke depan.
“Ketika negara bekerja dengan sistem, menjaga disiplin, dan melindungi anak-anaknya melalui pencegahan, di situlah martabat kebijakan publik berdiri,”Pungkas Haidar Alwi.
©Sonny/Tajuknews.com/tjk/12/2025.
#InaNews #MakanBergiziGratis #MBG #HaidaraAlwi

-01.jpeg)