TAJUKNEWS.COM, Jakarta, - Ahli Teknologi Polimer dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI), Mochamad Chalid, mengklarifikasi pemberitaan keliru di sejumlah media yang memuat judul “BPA lebih Berbahaya dari Etilen Glikol Kemasan AMDK”. Dia menegaskan tidak pernah diwawancarai media terkait hal itu, apalagi menyampaikan kesimpulan seperti itu.
Sebagai narasumber yang dicantumkan namanya dalam berita yang keliru, Chalid merasa berhak dan berkewajiban memberikan klarifikasinya. “Saya tidak pernah diwawancarai oleh kedua media digital tersebut, dan tidak pernah memberikan pernyataan secara eksplisit maupun implisit, bahkan kesimpulan seperti pada kedua judul tersebut,” ujarnya.
Secara kode etik, dia mempertanyakan profesionalisme kedua media tersebut mengingat tidak ada konfirmasi terhadap pemberitaan tersebut kepada narasumber, terlebih tulisan tersebut berdampak persepsi yang salah bagi masyarakat luas. “Selain itu, judul pemberitaan tidak tepat, karena esensi judul tersebut tidak sesuai dengan kompetensi narasumber dan berpotensi implikasi dekarakterisasi terhadap narasumber,” katanya.
Lebih lanjut, Chalid mengatakan tidak pernah menyatakan perbandingan lepasan BPA dari kemasan berbasis polikarbonat (PC) dan lepasan etilen glikol (EG) dari kemasan berbasis PET. Menurutnya, hal ini sulit diterima, karena keduanya berasal dari material polimer yang jauh berbeda dan sulit dibandingkan secara langsung.
Menanggapi penulisan berita pada kedua media tersebut tentang “batas bahaya BPA yakni 0,6 ppm (bagian persejuta), sedangkan EG yakni 30 ppm, sehingga BPA 50 kali lebih berbahaya dibandingkan dengan EG atau sedikit saja kandungan BPA sudah berbahaya bagi tubuh, sedangkan untuk EG butuh 50 kali lebih banyak baru dikategorikan bahaya, Chalid menegaskan bahwa dirinya tidak pernah memberikan pernyataan bahkan perbandingan tingkat bahaya BPA dan EG, apalagi menyimpulkan perbandingan tingkat bahaya kemasan AMDK berbasis PC dan PET. “Terlebih, hal tersebut di luar bidang saya,” tukasnya.
Kata Chalid, penulisan narasi yang tidak tepat juga ada pada “penggunaan EG sebagai senyawa pengikat dalam plastik PET yang sulit untuk luruh”. Pernyataan yang benar menurutnya adalah bahwa EG digunakan sebagai bahan baku untuk memproduksi PET, oleh industri hulu polimer sebagai produsen bahan baku polimer, yang kemudian diproses oleh industri botol PET, yang tentunya tidak ada lagi karakter EG, sebagai kemasan air minum. Bila digunakan sesuai prosedur pemakaian, botol PET relatif sangat sulit mengalami peluruhan menjadi EG kembali.
“Saya berharap semua pihak untuk dapat menggunakan tugas pokok dan fungsinya, terkhusus kedua media massa tersebut di atas. Media massa adalah corong kebenaran bukan pembenaran atas suatu peristiwa, agar terjadi pencerdasan masyarakat dalam mengambil sikap terbaik,” katanya.
Sebelumnya, kabarbisnis.com dan harianbhirawa.co.id memuat berita dengan mengutip pernyataan Chalid yang menyampaikan, “Sejumlah fakta menunjukkan bahwa kandungan BPA pada kemasan AMDK galon guna ulang memiliki potensi paparan yang lebih tinggi dibandingkan dengan senyawa etilen glikol pada kemasan PET”. Kedua media online ini menulis alasan Chalid menyampaikan itu ada dua. Pertama, terkait dengan mekanisme penggunaan ulang kemasan Polikarbonat akan membuat kandungan BPA akan lebih mudah luruh dan bermigrasi dari kemasan ke makanan dan minuman. Kedua, yakni terkait dengan batas bahaya BPA yakni 0,6 ppm (bagian persejuta), sedangkan EG yakni 30 ppm. Sehingga BPA 50 kali lebih berbahaya dibandingkan dengan EG. Atau, sedikit saja kandungan BPA sudah berbahaya bagi tubuh, sedangkan untuk EG butuh 50 kali lebih banyak baru dikategorikan bahaya.
Sebagaimana diketahui, dalam beberapa hari ini berita terkait EG menjadi pembicaraan utama di media terkait kematian 143 anak-anak akibat gagal ginjal akut yang diduga diakibatkan paparan zat kimia Etilen Glikol. EG juga digunakan sebagai zat aditif kemasan galon PET. Dosen dan Peneliti di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan SEAFAST Center, Dr. Nugraha E. Suyatma, STP, DEA, baru-baru ini mengatakan bahwa kemasan PET yang juga memiliki resiko karena memiliki kandungan asetaldehid, etilen glikol, antimon dan lain-lain yang juga berbahaya.
Nugraha menambahkan bahwa hingga sekarang, IARC ( International Agency for Research on Cancer), badan yang di bawah WHO masih mengkategorikan BPA masuk di grup 3, belum masuk di grup 2A atau 2B. Sedang acetaldehyde, justru masuk ke grup 2B itu sejak lama.
“Acetaldehyde yang ada dalam kemasan sekali pakai atau PET seperti yang ada pada galon sekali pakai justru sudah dimasukkan ke kelompok yang kemungkinan besar karsinogenik untuk manusia”.
Seperti diketahui, IARC mengklasifikasikan karsinogenik ini dalam 4 grup. Kelompok 1, karsinogenik untuk manusia. Kelompok 2A, kemungkinan besar karsinogenik untuk manusia. Kelompok 2B, dicurigai berpotensi karsinogenik untuk manusia. Kelompok 3, tidak termasuk karsinogenik pada manusia. Kelompok 4, kemungkinan besar tidak karsinogenik untuk manusia.
@Sonny/Tajuknews.com/tjk/10/2022.