TAJUKNEWS.COM/ Jakarta. — Roda perekonomian terus bergulir dengan tumbuhnya industri logistik Indonesia yang semakin menjamur dan beragam persaingan harga dan penampilan packaging yang menarik tentu menjadi tak beraturan dalam mengelola regulasi yang ditetapkan.
Hal ini diungkapkan oleh Muhamad Pahlevi, Pengamat Bisnis dan Praktisi Logistik, yang menilai bahwa kondisi ini sudah berlangsung lama dan membutuhkan reformasi menyeluruh dan memberikan edukasi kepada masyarakat mulai dari sdm dan aturan yang ditetapkan, " Ujar Levi di Jakarta, 01/08/2025.
Menurutnya, persoalan terbesar logistik di Tanah Air adalah tidak adanya sistem terintegrasi dan satu payung regulasi yang mengatur baik dari sisi pelayanan, tarif, hingga standardisasi kualitas.
“Saat ini semua pemain bergerak sendiri-sendiri. Akibatnya terjadi repotition, perang harga, bahkan ada yang rela menurunkan margin hingga tersisa Rp150 ribu saja, yang pada akhirnya habis juga tergerus biaya operasional,” ujar Pahlevi.
Ia menjelaskan bahwa dunia logistik memiliki dua kategori besar: kurir (seperti JNE, Pos Indonesia, SAP) dan layanan door-to-door untuk pengiriman antar gudang atau proyek. Namun, keduanya kini terjebak konflik harga, baik di level hub maupun antar penyedia jasa.
“Kalau tidak ada regulasi, yang murah pasti menang. Kualitas jadi nomor sekian, yang penting barang sampai,” tegasnya.
Pahlevi juga menyoroti masalah keterbatasan visi dan investor. Pemerintah masih terfokus pada lini pertama (investor besar), sementara pelaku usaha di lini tiga dan empat penyedia jasa dan aset
seringkali terjepit kebijakan yang tidak jelas.
"Dampaknya, lini kelima yaitu sektor perbankan, ikut terdampak karena kredit macet dan menurunnya minat pinjaman usaha," ucap Levi.
Lebih jauh, Levi menilai pemerintah seharusnya membuat acuan tarif dan biaya operasional berdasarkan jarak, bahan bakar, dan moda transportasi.
“Misalnya, dari Jakarta ke Bandung 140 km, harus ada patokan harga per kilometer, termasuk hitungan subsidi solar. Kalau harga diatur, pajak akan seimbang dengan subsidi,” jelasnya.
Kondisi logistik yang tidak terintegrasi juga membuat investor enggan. Banyak perusahaan besar memilih membangun layanan logistik sendiri seperti Shopee Express karena tidak percaya barangnya sampai tepat waktu.
Padahal, kata Pahlevi, kolaborasi antar kompetitor bisa menjadi solusi melalui sistem tarif tunggal dan pendaftaran armada yang transparan.
Levi mendorong adanya Sistem Logistik Nasional (Sislognas) yang mampu mengoordinasikan semua sektor logistik di bawah satu payung.
“Kalau sistemnya terintegrasi, biaya bisa ditekan, efisiensi meningkat, dan investor akan lebih percaya,” ujarnya.
Ia menutup dengan peringatan bahwa jika regulasi tarif dan kualitas di first mile tidak segera dibenahi, maka persaingan tidak sehat dan banting harga akan terus menghantam para pelaku usaha.
“Logistik itu ujung tombak perekonomian. Kalau pondasinya rapuh, distribusi nasional pun akan pincang,” tutup Pahlevi.
Pahlevi mencontohkan BUMN yang harus fokus pada “por” bisnisnya. “Pos Indonesia fokus memperkuat lini logistik, Krakatau Steel fokus di baja. BUMN dibentuk untuk kesejahteraan rakyat, bukan sekadar mencari profit. Prinsipnya, pornya harus kuat,” tukasnya.
@Sonny/Tajuknews.com/tjk/08/2025.