|

IKLAN BANNER

IKLAN BANNER
PEMILU 2024

Rentan Alami Kekerasan Selama Pandemi, Protokol Perlindungan Anak Lintas Sektor dalam Penanganan COVID 19 Disusun

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bekerjasama dengan United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF), sedang menyusun Protokol Perlindungan Anak Lintas Sektor dalam Penanganan COVID 19, di Jakarta, 03/04/2020.menindaklanjuti rekomendasi kepada Ketua Harian Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID 19 (GTPP COVID 19) untuk mengarusutamakan perlindungan anak dalam percepatan penanganan COVID 19. Guffee/Tajuknews.com/tjk@/April/2020.



TAJUKNEWS.COM, Jakarta – Di tengah pandemi Virus Corona (COVID19), anak rentan mengalami risiko perlakuan salah, kekerasan, penelantaran dan keterpisahan dari keluarga atau pengasuhan pengganti, baik yang terdampak langsung maupun orangtua atau wali yang mengalaminya. Oleh karenanya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bekerjasama dengan United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF), kementerian / lembaga (K/L) terkait, dan organisasi masyarakat lainnya saat ini sedang menyusun Protokol Perlindungan Anak Lintas Sektor dalam Penanganan COVID 19.

Menteri PPPA, Bintang Puspayoga sebagai koordinator penyelenggaraan perlindungan anak telah memberikan dan menindaklanjuti rekomendasi kepada Ketua Harian Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID 19 (GTPP COVID 19) untuk mengarusutamakan perlindungan anak dalam percepatan penanganan COVID 19.

Protokol Perlindungan Anak Lintas Sektor dalam Penanganan COVID 19 disusun untuk melengkapi rekomendasi tersebut. Protokol ini juga merupakan wujud komitmen Kemen PPPA dalam melaksanakan mandatnya untuk meningkatkan peran keluarga dalam pengasuhan, menurunkan angka kekerasan terhadap anak, pekerja anak, dan perkawinan anak.

“Di luar persoalan medis, pandemi COVID 19 juga meningkatkan risiko kekerasan, perlakuan salah secara emosional, fisik dan seksual, serta tekanan terhadap kesehatan jiwa anak. Aturan pembatasan fisik atau jarak fisik (physical distancing) dalam bentuk “kerja dari rumah” dan “belajar dari rumah” berpotensi mengingkatkan kadar stres di lingkungan keluarga, sehingga dapat memicu terjadinya kekerasan. Bagi orangtua kelas menengah ke bawah yang pendapatannya berdasarkan pemasukan sehari-hari, upaya ini bisa saja membuat penghasilan mereka menurun, sehingga memunculkan kondisi anak diminta atau secara sukarela bekerja,” tutur Deputi Perlindungan Anak Kemen PPPA, Nahar pada Rapat Koordinasi Penyusunan Protokol Perlindungan Anak Lintas Sektor yang dilakukan melalui teleconference dan diikuti oleh 83 (delapan puluh tiga) peserta dari beberapa K/L dan lembaga masyarakat.

Prioritas utama yang dibahas dalam rapat koordinasi ini adalah penyusunan protokol bagi pembebasan/ pemulangan sejumlah anak berhadapan dengan hukum (ABH) dari LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak).

Kemen PPPA rencananya akan menyerukan kepada GTPP COVID 19 di daerah dan otoritas kesehatan setempat untuk melakukan deteksi dini (skrining) kesehatan, mengawasi pelaksanaan protokol isolasi diri, dan melakukan upaya perawatan kepada mantan anak binaan yang ditemukan sakit.

Selain itu, Kemen PPPA akan mengarahkan Dinas PPPA di daerah bekerjasama dengan Balai Pemasayarakatan (Bapas) dan Dinas Sosial untuk turut memastikan mantan anak binaan dapat diterima kembali di tengah-tengah keluarganya dan masyarakat, atau mendapatkan pengasuhan pengganti jika keluarganya belum siap.

Selanjutnya, dalam waktu dekat kemungkinan akan ada pembebasan anak binaan. Kemen PPPA bersama-sama dengan K/L terkait akan menyiapkan protokol bersama untuk memastikan proses skrining dilaksanakan sebelum dilakukan asimilasi dalam rangka mencegah penyebaran COVID 19, dan langkah-langkah kolaboratif untuk memastikan keberlanjutan pemenuhan hak anak dan jaminan anak agar terhindar dari stigma dan diskriminasi.

Nahar melanjutkan, apabila di dalam suatu keluarga terdapat orangtua/wali pengasuh inti yang terinfeksi COVID 19 dan harus menjalankan isolasi di rumah sakit hingga tahap pemulihan, atau bahkan hingga meninggal dunia, maka berpotensi melemahnya pengasuhan, pengawasan, perlindungan, dan pemenuhan hak terhadap anak. Kita juga harus memerhatikan anak di pengungsian, serta anak pengungsi illegal, mengingat permasalahan kebersihan di lokasi pengungsi.

“Protokol ini menjadi panduan lintas K/L, Organisasi Pemerintah Daerah (OPD), serta penyedia layanan dari lembaga non-pemerintah, lembaga keagamaan, dan kelompok masyarakat untuk memastikan adanya upaya terkoordinasi dan lintas sektor terkait pencegahan atau mengurangi keterpisahan anak dari orangtua, pengasuh atau keluarga, dan berbagai risiko perlindungan anak lainnya. Dengan protokol ini juga diharapkan tidak adanya stigma dan pengucilan sosial terhadap anak dan keluarganya yang diakibatkan penularan COVID 19, maupun bagi anak dan keluarga dari kelompok tertentu,” ujar Spesialis Perlindungan Anak UNICEF, Ali Aulia Ramly.

Protokol ini akan fokus mengatur mekanisme rujukan dan pemberian layanan bagi anak dalam masa darurat pandemi COVID 19:

1. Anak tanpa gejala, anak dalam pemantauan dan pasien anak dalam pengawasan.

2. Anak yang orangtua/ pengasuhnya ODP (Orang dalam Pengawasan) atau PDP (Pasien dalam Pengawasan), dan anak yang menjadi kepala keluarga yang membutuhkan pengasuhan alternatif.

3. Anak yang berada di LKSA (Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak) dan LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial).

4. Anak-anak berkonflik dengan hukum di LPAS, LPKA.

5. Anak yang menjadi korban kekerasan, perlakuan salah, penelantaran serta penyediaan pengasuhan pengganti dalam situasi pandemi COVID 19.

(Guffe/Tajuknews.com/tjk@/April/2020).
Komentar

Berita Terkini