|

IKLAN BANNER

IKLAN BANNER
PEMILU 2024

Selesaikan Dulu Carut Marut Status dan Fungsi Jalan Sebelum Menerapkan Zero ODOL

  

Satu problem yang harus diselesaikan pemerintah itu adalah masalah status dan fungsi jalan yang masih carut-marut dan tidak jelas, Jika itu tidak dibenahi, bisa dipastikan masalah ODOL ini tidak akan pernah terpecahkan, di Jakarta, 10/04/2022. Pemerintah diminta menyelesaikan beberapa masalah terkait jalan sebelum menerapkan Zero ODOL (Over Dimension Over Load). Foto ; @Sonny/Tajuknews.com/tjk/04/2022.

TAJUKNEWS.COM, Jakarta - Pemerintah diminta menyelesaikan beberapa masalah terkait jalan sebelum menerapkan Zero ODOL (Over Dimension Over Load). Jika itu tidak dibenahi, bisa dipastikan masalah ODOL ini tidak akan pernah terpecahkan. 

 

Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Agus Taufik Mulyono, mengatakan salah satu problem yang harus diselesaikan pemerintah itu adalah masalah status dan fungsi jalan yang masih carut-marut dan tidak jelas. Menurutnya, ini merupakan problem klasik yang masih belum diselesaikan hingga saat ini. 

 

Masalahnya, kata Agus, pabrik untuk komoditi ekspor itu tidak ada yang berada di kota. Semua berada di desa atau kecamatan. Jadi, ketika mengangkut barang dari pabrik-pabrik itu menuju pelabuhan utama, truk-truk itu pasti akan melewati jalan yang statusnya beda, mulai jalan desa, kabupaten, kota, provinsi, dan arteri (nasional),di Jakarta, 10/04/2022. 

 

Tidak hanya statusnya, truk-truk itu juga pasti akan melalui jalan-jalan yang fungsinya juga berbeda. Mulai 

lingkungan primer atau jalan lokal,  kolektor 3 atau jalan kabupaten,  kolektor 2 atau jalan provinsi,  dan kolektor 1 atau jalan arteri.

 

Selain fungsi dan status, kelas jalan yang dilalui truk-truk itu dari pabrik menuju pelabuhan utama juga beda. Ada jalan kelas 3, kelas 2, dan kelas 1. 

 

Saat melalui jalan yang berbeda-beda itu, truk-truk itu tida mungkin akan menurunkan barang-barang bawaannya saat akan pindah jalan. Apalagi, saat membongkar muatannya itu, dibutuhkan yang namanya terminal handling sebagai tempau untuk mengumpulkan barang-barang yang kelebihan muat. “Nah, masalahnya, terminal handling ini tidak pernah ada karena memang tidak diwajibkan dalam undang-undang,” tukas Agus.

 

Fakta-fakta seperti inilah yang menurut Agus akhirnya membuat jalan-jalan itu. Khususnya jalan yang ada di kabupaten banyak yang rusak karena harus dilalui truk-truk besar . “Jadi, carut-marut antara kelas, fungsi dan status jalan inilah sebetulnya yang menjadi penyebab hancur-hancuran jalan itu.  Artinya, penerapan kelas jalan itu tidak sesuai dengan penerapan status jalannya,” tukas Agus. 

 

Kenapa hal itu terjadi, menurut Agus, karena selama ini antara UU Jalan dengan UU Lalu Lintas tidak pernah sinkron. “Di pasal 19 UU Lalu Lintas tentang Kelas Jalan, dikaitkan dengan fungsi jalan, dikaitkan status jalan, tidak pernah ketemu. Jadi, masalah ODOL ini tidak akan pernah bisa diselesaikan. Mau diselesaikan pakai apa?” ucapnya.

 

Suripno dari Indonesia Road Safety Partnership (IRSP) juga mempertanyakan  soal siapa yang sebenarnya yang bertanggung jawab menetapkan kelas jalan itu.  Karena menurutnya, sesuai undang-undang, yang menetapkan kelas jalan itu adalah Menteri PUPR.  Tapi, lanjutnya, tidak ada kata-kata yang menjelaskan bahwa yang ditetapkan itu untuk membangun jalannya atau untuk pelarangan penggunaan jalannya juga. 

 

“Akibatnya, terjadinya masalah sampai sekarang, di mana PU menetapkan kelasnya dan Menteri Perhubungan yang harus menetapkan larangan penggunaan berdasarkan kelas jalannya. Tapi, ini juga tidak dijalankan. Akhirnya, yang terjadi adalah akan sulit mencari jalan yang sudah punya kelasnya. Itu sama dengan mencari jarum dalam jerami sulitnya,” ujarnya. 

 

Jadi, kata Suripno, seharusnya ada pertemuan antara Kementerian PUPR dan Kementerian Perhubungan  untuk membahas hal ini. Misalnya, PU ditetapkan harus di kelas berapa supaya Menteri Perhubungan membuat aturan larangannya. “Ini kan belum dilakukan,” katanya.  

 

Ketua Dewan Pakar Ikatan Penguji Kendaraan Indonesia (IPKBI), Dwi Wahyono Syamhudi, bahkan mengakui bahwa dari aspek pengujian kendarannya lebih membingungkan lagi.  Hal itu disebabkan pengujian kendaraan itu selalu menetapkan daya angkut itu berdasarkan kelas jalan terendah yang boleh dilalui. 

 

“Sekarang kalau kelas jalannya nggak ada karena tidak ada rambu juga. Terus, bagaimana mengatakan bahwa truk itu overload  atau tidak, kalau kelas jalannya saja nggak ada,” tukasnya. 

 

Yang perlu dipertimbangkan juga menurut Dwi adalah keberadaan terminal handling atau barang sebagai hub untuk berpindah dari kelas jalan yang satu ke kelas jalan yang lain.  “Sekarang, hubnya itu nggak ada. Dan saya belum dengar kalau pemerintah ingin membangun terminal sebagai hub,” tuturnya.

 

Jadi, kata Dwi, tanpa adanya hub atau terminal barang, pasti akan selalu ada pelanggaran kelas jalan. Kenapa? “Truk-truk yang besar-besar itu kalau dia masuk ke dalam kelas 2, pasti melanggar. Karena panjangnya trailernya saja sudah 18 meter, sedangkan kelas 2 hanya boleh 12 meter. Kalau lagi masuk kelas 3 dari jalan industri seperti di Sukabumi dan sebagainya, itu trailer juga masuk dan sudah pasti melanggar,” ungkapnya. 

 

“Jadi, memang tidak mudah untuk menerapkan Zero ODOL. Kita harus benahi semua permasalahan itu dulu secara simultan. Seluruh komponen transportasi itu dibenahi sedemikian rupa, sehingga pada saat dilakukan penertiban ODOL, pelanggaran muatan itu bisa dilakukan dengan baik dan dan selaras. Ini masukan ke pemerintah supaya nanti ke depan kita sama-sama pikirkan, seluruh unsur-unsur atau komponen-komponen yang membentuk transportasi  itu bisa kita benahi secara simultan,” katanya. 

@Sonny/Tajuknews.com/tjk/04/2022.

Komentar

Berita Terkini