|

IKLAN BANNER

IKLAN BANNER
PEMILU 2024

BPOM Gelar Sarasehan di Hotel Mewah, ICW: Potensi Pemborosan Uang Negara

Kepala BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), Dr. Ir. Penny K. Lukito, MCP saat memeberikan acara sarasehan dalam upaya perlindungan kesehatan masyarakatdi jakarta, 07/06/2022. Melihat hal ini, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutnya sebagai potensi pemborosan uang negara.  @Sonny/Tajuknews.com/tjk/06/2022.

TAJUKNEWS.COM, Jakarta. - Di tengah kondisi ekonomi yang masih sulit saat ini akibat dampak pandemi Covid-19, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) malah mengadakan sarasehan di sebuah hotel mewah di Jakarta. Melihat hal ini, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutnya sebagai potensi pemborosan uang negara. 

 

Peneliti ICW, Dewi Anggraeni mengatakan untuk acara sarasehan BPOM itu memang ada alokasi anggaran yang bisa digunakan untuk meeting. Tapi, menurutnya, anggaran pertemuan itu harus direncanakan dan diusulkan ke pemerintah agar ketika diaudit BPK tidak menjadi temuan kerugian negara. “Meski begitu, memang acara BPOM yang dilakukan di hotel mewah itu menurut kami bisa disebut potensi pemborosan uang negara. Apalagi jika hasil yang didapat dari meeting tersebut tidak berkualitas,” ujarnya.

 

Seperti diketahui,  BPOM mengadakan sarasehan “Upaya Perlindungan Kesehatan Masyarakat Melalui Regulasi Pelabelan Bisfenol A (BPA) Pada Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) pada Selasa (7/6) di sebuah hotel mewah yang berada di kawasan Karet Tengsin, Jakarta Pusat. Acara yang juga dihadiri dua anggota Komisi IX DPR, yaitu Arzeti Bilbina dan Ratu Ngadu Bonu Wulia ini berlangsung dari pukul 9.00 hingga 13.15, yang dilanjutkan dengan meeting lanjutan di ruangan lain. Dari data yang diperoleh dari pihak hotel, harga untuk paket meeting yang half day itu sebesar Rp 650 ribu++ per orang. Harga ini untuk penggunaan ruang meeting selama 6 jam. Sementara untuk yang full day, harga paketnya mencapai Rp 685 ribu per orang untuk pemakaian ruang meeting selama 8 jam.  

 

Terkait topik yang dibahas BPOM dalam sarasehan ini, yaitu soal wacana pelabelan BPA pada AMDK, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar (Mintegar) Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo, sudah dengan tegas menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap wacana tersebut. Menurutnya, sertifikasi BPA itu hanya akan menambah cost yang mengurangi daya saing Indonesia. 

 

Sementara itu, kata Edy, substansi isunya sendiri masih debatable.  “Sebenarnya, yang diperlukan itu adalah edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat bagaimana cara handling dan penggunaan kemasan yang menggunakan bahan penolong BPA dengan benar. Jadi, bukan malah memunculkan masalah baru yang merusak industri,” ucapnya.

 

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia juga menilai masih terdapat perbedaan pandangan dari berbagai pemangku kepentingan terkait urgensi penerbitan pelabelan “berpotensi mengandung BPA” pada air minum dalam kemasan (AMDK) galon guna ulang berbahan polycarbonat (PC). Karenanya, Kemenko Perekonomian meminta agar penerbitan revisi Peraturan BPOM nomor 31 tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan perlu dikaji ulang dan dibahas lebih mendalam dengan semua pihak.

 

Anggota Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), Hermawan Seftiono dan Pakar Kimia ITB, Ahmad Zainal juga menegaskan hal serupa. “Untuk keamanan pangan itu sudah ada aturannya, yaitu wajib SNI (Standar Nasional Indonesia). Jadi, jika sudah memiliki SNI, produk pangan itu sudah sesuai dengan kriteria aman untuk digunakan oleh konsumen,” ujar  Hermawan Seftiono. 

 

Dia mengutarakan bahwa semua produk pangan yang sudah memiliki ijin edar itu sebenarnya sudah memiliki label pada kemasannya. Label itu sudah menunjukkan semua informasi dari produk pangan tersebut, seperti  komposisi produk pangan, nama produknya, tempat produksinya, dan tanggal kadaluarsanya.  

 

Jadi,  katanya,  penambahan label baru dalam kemasan pangan itu nantinya malah akan menambah biaya bagi industri  untuk melakukan pengujian dari kemasan. “Pas awal-awal mereka harus mengeluarkan biaya untuk menguji kemasannya, kemudian untuk periode tertentu misalnya setiap 6 bulan atau setahun, mereka juga harus mengujinya lagi  untuk dikonfirmasi aman atau tidak. Itu kan biayanya tidak sedikit,” katanya.

 

Selain itu, Hermawan juga menyampaikan bahwa tidak ada juga jaminan bahwa penambahan label baru itu nantinya justru malah membuat para konsumen menjadi lebih nyaman terhadap produk pangan tersebut. “Yang ada malah,  kata-kata yang dibuat pada label itu nantinya malah bisa membuat konsumen menjadi takut menggunakan produk tersebut,” ujarnya.

Zainal bahkan mengatakan pelabelan itu secara scientific sebenarnya tidak perlu dilakukan karena sudah ada jaminan dari BPOM sendiri dan Kemenperin bahwa produk-produk pangan yang sudah memiliki ijin edar, termasuk produk AMDK, sudah aman untuk digunakan. Produk-produk itu juga sudah berlabel SNI dan ada nomor HS-nya yang menandakan bahwa produk itu aman. 

 

Kalau pelabelan itu diberlakukan, menurut Zainal, yang dirugikan justru para konsumen. Karena, pelabelan itu jelas akan menambah biaya. “Walaupun industri itu nambah biaya, tapi ujungnya itu akan dibebankan lagi kepada para konsumen. Kalau dari sisi itu, pasti akan ada penolakan nanti dari pihak konsumen sendiri,” tukasnya. 

 

Direktur Pengembangan Standar Agro, Kimia, Kesehatan dan Halal Badan Standardisasi Nasional (BSN), Heru Suseno, mengusulkan agar persyaratan migrasi BPA ini dimasukkan saja ke dalam persyaratan SNI. “Jadi, nantinya produk itu cukup hanya dilabeli dengan SNI saja tanpa perlu label BPA lagi. Untuk itu, semua stakeholder terkait, baik dari BPOM maupun Kemenperin harus duduk bersama untuk membicarakannya,” ucapnya. 

 

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga mengakui sama sekali belum pernah menerima pengaduan dari masyarakat mengenai adanya bahaya penggunaan air minum dalam kemasan (AMDK). Mewakili Wakil Ketua BPKN, Rolas Budiman Sitinjak dalam sebuah webinar online baru-baru ini yang meninggalkan acara karena ada rapat kantor, Sekretariat BPKN menyampaikan bahwa sampai dengan saat ini belum pernah menerima pengaduan dari masyarakat terkait bahaya AMDK galon. Menurut Sekretariat BPKN, pengaduan yang masuk ke BPKN terkait kasus kesehatan itu hanya dalam hal keracunan makanan dan minuman serta beberapa kasus terkait dalam hal kemasan yang tidak sesuai dan juga dalam hal kadaluarsa. “Terkait dengan AMDK galon, belum ada pengaduan dalam hal tersebut,” tulis Sekretariat BPKN di ruang chat menjawab pertanyaan wartawan. 

 

Hal serupa disampaikan YLKI yang juga mengakui belum pernah menerima pengaduan dari konsumen terkait bahaya penggunaan kemasan pangan. “Kalau untuk pengaduan khusus untuk wadahnya atau kemasannya, kami belum pernah menerima pengaduan dari konsumen hingga saat ini. Tapi kalau produknya, isinya, misalnya makanannya atau minumannya rusak, itu ada,” kata Koordinator Pengaduan dan Hukum YLKI, Sularsi. 

 @Sonny/Tajuknews.com/tjk/06/2022.

Komentar

Berita Terkini